News Kamis, 31 Maret 2022 | 16:03

Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual Diakomodir di RUU TPKS 

Lihat Foto Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual Diakomodir di RUU TPKS  Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS kembali melanjutkan pembahasan RUU TPKS pada Kamis, 31 Maret 2022. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pemerintah dan DPR dalam Rapat Panja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyepakati pengaturan Dana Bantuan Korban (Victim Trust Fund) untuk korban kekerasan seksual pada Kamis, 31 Maret 2022.

Dalam rapat panja tersebut, pemerintah dan dewan mengakomodir masukan masyarakat sipil mengenai Dana Bantuan Korban melalui penambahan dua ayat pada daftar inventaris masalah (DIM) RUU TPKS.

Penambahan ayat tersebut diatur dalam Pasal 23 RUU Baleg DPR RI atau 28 DIM Pemerintah. Penambahan dua ayat itu berbunyi: (17) kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (16) dibayarkan melalui dana bantuan korban, dan (18) ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan dan tata cara pemberian dana bantuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (17) diatur dengan peraturan pemerintah. 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi pemerintah dan dewan yang mengakomodir soal Dana Bantuan Korban ini.

ICJR menekankan bahwa Dana Bantuan Korban harus memperhatikan sumber-sumber pendanaan yang memungkinkan. 

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyebut, sumber pendanaan tersebut tidak harus melalui APBN, melainkan dapat melalui sumber dana lain, seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sanksi finansial, dana CSR perusahaan/BUMN, hibah, donasi, maupun kerja sama dengan pihak ketiga. 

"Dana bantuan korban ini juga dapat berasal dari dana abadi, sebuah metode yang sudah banyak diimplementasikan di Indonesia," kata dia.

Baca juga: DPR dan Pemerintah Bahas Mekanisme Restitusi dan Hak Korban dalam RUU TPKS

Selain itu kata Maidina, Peraturan Pemerintah juga perlu mengatur tentang lembaga pengelola dana bantuan korban yang berfungsi mengatur pelayanan dan pengelolaan dana bantuan korban, termasuk menampung kontribusi dan partisipasi dari pihak swasta, publik, maupun hibah yang semuanya dapat digunakan untuk pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual. 

Menurut Maidina, lembaga pengelola ini lebih tepat diserahkan kepada LPSK yang selama ini juga telah melakukan hal serupa, berupa pengelolaan dana melalui kerja sama dengan pihak ketiga melalui fungsi psikososial yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. 

"Penunjukan LPSK juga akan menghemat biaya pembentukan lembaga baru," kata dia.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan keterlibatan masyarakat sipil dan pihak terkait yang terlibat, seperti pendamping korban kekerasan seksual dalam mengatur Peraturan Pemerintah mengenai dana bantuan korban. 

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan ini penting guna menghasilkan peraturan yang lebih berkualitas. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya